Senin, 16 April 2012

Leaving in the silent



Terbangun karena alarm pagi membuka mata, mengayunkan langkah gontai kaki kaki lemah yang terlengkup dalam hamparan lembar lembar kertas bertaburan. Putih, dengan goresan tinta hitam terbaca sarat pengetahuan berharap ia menghilang dan pindah kedalam pikiran untuk di uji. Aku masih sendirian.

Aku memang tidak sama dengan Aristoteles yang berusaha berfikir dan terus mencari jati diri tak kunjung usai, berusaha memahami apakah aku hidup atau hanya benda mati sebatang rotan dijalanan, tapi yang aku tau aku masih punya hati dan akal jika hanya untuk merasakan untuk apa sebenarnya aku hidup.

Ketika persahabatan dan cinta menjadi sesuatu yang tabu dan sulit dibicarakan, mungkin itu hanya butuh waktu untuk melerainya menjadi satu, mewarnainya dengan indah, yang nantinya akan disulam dan dirajut menjadi titik kedewasaan yang manis dan memabukkan.

Kini untuk apa aku harus menatap bintang atau sekedar memainkan kaki ku dalam air sungai yang mengalir jika disana tidak ada ketenangan yang ku cari ? Aku bukan patung apalagi seonggok kotoran yang bisa kau pandang penuh hina, caci atau kau buang ke tempat sampah hingga terasing ! Karena aku juga manusia beradab yang punya harga diri dan merdeka atas diriku sendiri walaupun tidak untuk Tuhan.

Api yang bergejolak dalam dada mencambuk hingga lesinya berbekas dipikiran saraf otakku, walau ego ku hanya tersenyum sinis dari kejauhan tapi aku masih berusaha tersenyum di hari hari ku yang penuh kejutan dan emosi. Aku tak takut kepadamu, karena aku memang tak takut siapapun walau aku terlihat sendirian dan sepi.

Sekarang aku hanya termenung menatap tembok ku yang kusam, diam dan tak peduli bisikan yang kau teriakan, pilu sedu, risau yang bersatu menjadi lumpur abu abu , lumpur yang mungkin menyedotku hilang dari gelapnya keberadaan jiwa yang sudah tak temaram. Ya, jika memang aku hanya ditakdirkan sendiri hingga aku menggali kuburku sendiri, aku tak peduli.

Karena memang aku tak akan pernah benar benar merasa sendirian ...

Referensi Gambar
http://faqihpink.blogspot.com/2012/01/semua-tentang-indah.html

Selasa, 10 April 2012

Blood and sincerity of soul :(



Setetes air yang jatuh ke tanah
kotor terserap dan takkan kembali
menjadi bagian dari zatnya
kembali membumi ...

Ketika tulang dan daging yang terselubung dalam darah bersatu padu membuat suatu goresan titah, dia bekerja keras berusaha agar diakui meskipun luka dan menangis karena apoptosisnya. 

Selubung kedamaian itu tercipta perlahan demi perlahan menghangatkan dirinya, membuat percaya bahwa dunia tidak hanya diciptakan untuk mereka saja, masih ada tempat dan memang masih ada tempat untuknya.

Arah angin selalu membimbing membawa kaki lemahnya melangkah dan dia yang berada dalam selubung cinta terpaksa mengakar dan berlindung pada kerasnya batu, berjuang menghindari mati karena tatap mata badai dan pukulan salju yang beku. "Aku masih kuat, walaupun tulangku patah dan darahku berhenti mengalir".

Nasi basi yang dibumbui sejumput garam jadi saksi bahwa tekadnya sama dengan banyaknya garam di laut yang maha luas dan ini bukanlah suatu masalah besar ataupun kecil yang dia takuti. Saat orang lain memanjakan perutnya yang sudah berteriak tak mau disuapi, dia tak peduli dengan bising suara abdomennya sendiri. "Biarlah aku kelaparan, dan menggigil tapi aku tidak akan mati !".

Darah yang berkembang dari satu menjadi dua, dua menjadi empat, memberikan harapan dan semangat baru ketika api itu hampir saja padam. Sumber energi dan alasan pasti yang membuat peluhnya semakin deras bercucuran. Melakukan apapun demi menjaganya, memberikan apapun yang ia minta, meskipun kulitnya yang halus harus terbakar panasnya matahari, sakit dan perih.

Tidak pernah terasa helai demi helai mahkota hitam yang dipuja berubah seketika menjadi pucat pasi seputih kertas, dan dia tetap saja tak peduli asalkan benih yang tertanam sudah menjadi dewasa dan mampu bertahan hidup dengan layak, tak seperti dirinya dulu. 

Dalam kesedihan berpisah dari bagian hatinya yang selama ini ia lindungi, dia tetap tegar dan pantang bersedih, mengajarkan anak anaknya menjadi pribadi yang tegar dan mampu menantang matahari membanggakan jiwanya yang sudah renta untuk meneruskan titah menjadi khalifah di bumi.

Seperti Al Qur'an tua dia memang lapuk dan usang, tapi kesuciannya tak bisa tergantikan. 
Seperti Al Qur'an tua dia memang bisa saja kau letakkan dalam pojok lemari kamar, terbuang dan diabaikan tapi lebih indah jika kau dekap dan ciumi ia penuh cinta, karena dia abadi dan cintanya untukmu tak lekang oleh zaman.

Semua  ini karena aku cinta
Ibu...   

Referensi gambar
http://singingemotions.files.wordpress.com/2011/07/siluet.jpg

Minggu, 08 April 2012

Kites and Memories


Hembusan udara yang kita hirup
Basahnya tanah yang kita injak
Dinginnya sungai yang kita selam
Hangatnya fajar yang melekat di permukaan kulit ini
Semuanya menyatu menjadi nebula kenangan
Mereka indah, karena mereka berada di masa lalu

Kicauan burung gereja yang bersarang di atap rumah ku selalu memberikan suplemen keceriaan bagi seorang balita seperti ku, dua puluh tahun lalu.

Setiap orang pasti memiliki sahabat kecil di masa lalunya, begitupula aku yang memiliki dua orang sahabat kecil di rumah lamaku, mereka kerap kali dipanggil Denny dan Ipul. Entah siapa yang lebih tua dari kami bertiga, namun yang ku tahu jarak kelahiran kami tidaklah berbeda jauh. 

Kata orang tua ku, kami bertiga sudah mulai bermain bersama semenjak kami masih bayi, alih alih ikut ibu yang menyusui atau menjemur kami bersama didepan rumah dikala pagi, hingga bersama pergi ke pasar berbelanja bahan santap bulanan di rumah.

Rumah kami memang tidak jauh dari Bandara Internasional Soekarno Hatta sehingga kami sangat tidak asing bila setiap hari mendengar suara deru pesawat terbang take of atau mendarat. Hal ini yang membuat aku sangat rindu pada mereka, mengapa ? karena sewaktu kecil kami sering sekali bermain lumpur dan air di belakang rumah ku dan ipul,  ketika kami lelah kami bertiga tiduran di rerumputan sambil bermain tebak tebakan gambar awan sambil berteriak " PESAWAAAT MINTA DUIT ! " jika ada pesawat yang menabrak awan awan objek khayalan kami.

Sering kali kami bermain di pesawahan mencari belut atau lindung dengan umpan cacing yang berada dibalik tanah tanah hitam nan licin, atau hanya sekedar menjebak ikan ikan kecil untuk mainan kami. 

Entah pada bulan apa di masa lalu itu, di desaku sedang musim musimnya bermain layangan "koang", kami bertiga sering bermain kerumah seoarang kakek yang sangat pandai membuat layangan yang besar dan unik itu. Melihat kakek memotong bambu, mengukurnya dengan benang untuk menjadikannya rangka, mengamplasnya, hingga akhirnya tersusun sebuah rangka layangan dan setelah prosesnya yang panjang di tempelkanlah kertas kertas minyak yang membuatnya menjelma menjadi seekor naga merah yang cantik. 

Tiba saat penerbangan perdana sang naga, kami berempat sudah berada di lapangan sekolah sejak sore hari. Melihat angkasa yang dipenuhi oleh berbagai layangan lainnya, kami tak sabar untuk memamerkan layangan ini pula kepada teman teman sekampung, ya meskipun kami tidak membantu membuatnya :). 

Denny yang paling tinggi diantara kami, memabantu kakek menerbangkannya, dia memegang layangan itu, dan diujung sana ada kakek yang bersiap menahkodainya. " Yak ! Lepas ! ", Seketika layangan itu lepas landas membelah horizon langit sore dan memamerkan kumisnya yang seram, membuat kami takjub dan bersorak sorak riang ditemani ketawa kakek yang bahagia dengan hasil jerih payahnya.

Keceriaan kami ternyata harus dibayar dengan pahitnya suatu tragedi, entah bagaimana bisa layangan itu tiba tiba menukik tajam dan nyusruk di pohon yang cukup tinggi, serentak kami berlari ke pohon itu dan hanya bisa terdiam dibawah bayang pohon tersebut, layangan itu tersangkut sangat tinggi dan tak ada yang berani mengambilnya, bahkan kakek sekalipun. Pohon itu adalah kerajaannya semut rangrang, ya semut merah besar yang kalo kegigit bisa bentol dan gatal, yakin pasti tidak bisa tidur semalaman. 

Kami yang sudah hampir menangis, hanya bisa dihibur oleh tegar dan senyum manis kakek, beliau berkata " sudah sudah nanti kita buat lagi .. ", bagaimana bisa kakek itu setegar itu !? Kan dia yang buat ? Kami hanya bisa pulang dan mengadu, " mah layangannya nyusruk di pohon "

Saking dekatnya bandara dengan rumah, kami sangat suka pergi melihat pesawat pesawat yang terparkir rapi di hangarnya, pergi pagi pagi atau sore hari menyusuri sawah bersapaan dengan para petani menuju lapisan pagar penjaga landasan pesawat.

Sesampainya disana memang tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali hanya melihat dari pinggir pagar tersebut berkhayal dan berkhayal, kapan kami bisa benar benar kesana ? kapan kami bisa masuk ke dalamnya dan terbang bersamanya ? Bagaimana desa kami terlihat dari angkasa sana ? hanya itu, hanya itu yang kami pikirkan hingga merasa bosan dan kembali kerumah.  :(

Tidak ada kesedihan yang paling menyakitkan hati selain berpisah bersama sahabat sahabat yang paling kita sayang dan cintai. Itu terjadi ketika aku harus pindah dan tinggal bersama nenek ku di Jakarta, di tanah kelahiran ayahku untuk bersekolah dan alasan alasan lain yang hanya diketahui orang tua ku tanpa aku bisa berpamitan bersama mereka bahkan hingga akhirnya aku benar benar pindah sekeluarga. 

Ingatlah kawan persahabatan kita selalu ada di pikiran dan tersimpan rapi di cahaya bintang bintang dan bulan yang mengiringi kita malam hari, saat pergi mengaji bersenjatakan al qur'an tua dan sebatang lidi.

Semoga jika kelak kita bertemu, kita tak lupa pada kenangan  yang banyak dan indahnya tidak sebanding dari tulisan picisan ini. 
 
Referensi Gambar

http://500px.com/photo/5240110
Baca doang ga kasih komen ? Ga gaul cuy !