Jumat, 31 Agustus 2012

De dim hal ! Balai yang temaram

" Wijsheid zoeken in de geschiedenis, vindt u het ! "

Dalam alunan keroncong jingga yang terlupakan, menikmati kenangan bersama secangkir kopi dan singkong goreng bawang.

Kau tak tahu aku masih menunggumu, menunggumu meski harus mendengarkan suara merdu itu dari sebuah radio kotak tua peninggalan kakekku. Irama indah lantunan sederhana, simpel, sempurna walaupun aku tak mengerti lagu apa yang dinyanyikannya.

Di lamunanku, jendela yang besar dari waktu lampau memaksaku terjun kembali kedalam kisah masa lalu, ketika bangsawan bermata biru mengeluarkan jeroan dan darah jutaan manusia pribumi di gedung seberang, gedung yang dahulu pernah dibanggakan, gedung yang dahulu menjadi pusat perhatian. Sthaduis Batavia.

Kalaulah aku bertemu dengan mu dahulu, ketika kedamaian masih dalam toples kacang kering itu, aku akan berusaha terus menjagamu meski harus melawan bayonet dengan parang yang ku punya. Karena dirimu lebih berharga dari pada nyawa yang menempel dalam helai irisan dagingku yang hina.

Sejarah cinta yang terikat dalam tiang gantungan mengiring aku menerjemahkannya dalam bahasa belanda, menjunjung tinggi kebenaran yang terselimut kabut suatu budaya. Cinta bukan segalanya !

Aku rindu !, aku rindu pada nelayan yang memanggul ikan hasil tangkapan dengan damai di gurun, seram, tanjung pura, haru, pahang, dompo, bali, sunda, palembang dan tumasik. Keharmonisannya dengan alam, membuatnya terlindung dari kuku pahit meski harus tertumbuk pararaton yang di bisikan waktu dan awan.

Menanam padi, cengkeh dan pala tanpa guratan sedih dan takut akan nestapa. Bertukar makanan dengan masyarakat hilir yang senyumnya ceria. Tak perlu takut lapar karena tanahnya yang subur makmur. Aku merdeka sepenuhnya.

Dentingan waktu menyadarkanku akan dirimu.
dan aku masih mencintaimu  ...

Minggu, 26 Agustus 2012

Resurrection of butterfly


“Just when the caterpillar thought the world was over, it became a butterfly.”

Menulis adalah bukan tentang pikiran orang lain yang kita suka atau tentang perkataan orang yang kita benci. Menulis juga bukan suatu usaha keras yang harus kita paksakan agar orang lain bisa menikmatinya tetapi menulis  adalah suatu tarikan nafas yang dapat melegakan jiwa, mendamaikan suasana hati dan pikiran sang peramu tintanya.

Dibalik keringnya dedaunan yang mulai membusuk aku tersadar dan bertanya pada diriku sendiri. Untuk apa semua ini harus ditulis ? Kenapa semua terasa berat ketika kita harus kembali memulai setelah ada yang merusaknya? Dan kenapa aku harus membangunnya kembali? 

Cinta dan perasaan yang dicampurkan kedalam tinta akan terlihat bersinar dan memiliki perasaan dari pada dia yang tidak memasukan emosi didalamnya. Karenanya mengapa aku harus takut ?

Harapan, motivasi, emosi, visi misi ku semuanya menyatu dalam tinta yang hitam ini, karena aku percaya seperti apa yang telah kau percayakan kepada ku.

Di alam sana

Aku memperhatikan ulat hijau gemuk menjijikan di balik daun rapuh berlubang depan pekarangan rumah almarhum kakekku. Dia begitu rakus hingga hampir memakan seluruh dedunan yang ada di ranting tempat dia berpijak. Dia tidak sendiri, dia selalu bersama teman sahabat atau mungkin keluarganya aku tak tau. Tapi satu hal, dia tetaplah sama menggelikannya dengan yang lainnya.

“Ulat sang hama” julukan yang disematkan padanya mengantarnya pada kotornya tanah merah setelah rantingnya yang  memang lebih rendah dari  ranting lainnya itu dipangkas hingga berjatuhan dari pohonnya,  akhirnya ulat ulat hijau gemuk itu berakhir menjadi vitamin dan makanan penutup yang lezat bagi ayam ayam kampung jagoan disana. Ulat hijau itu mati.

Di ranting yang lebih tinggi masyarakat ulat itu menjelma bertransformasi menjadi sekeping kepompong yang unik. Berselimutkan daun dan benang putih asli produksinya sendiri , dia boleh bernafas lega karena memang tidak ada yang peduli terhadapnya. Kepompong itu dikucilkan.

Namun semua berasa lebih ramai, semua lebih memperhatikan dan semua menjadi lebih peduli setelah kepompong yang terkucilkan itu berevolusi menjadi kupu kupu biru cantik seperti safir yang berterbangan mengitari  mentari pagi dan berhenti dibunga yang basah oleh cantiknya tetesan embun.  Dia sangat terlihat elegan.

Untuk saat ini aku memang adalah ulat hijau gemuk menjijikan yang bisa berjatuhan dan mati dimakan hinaan orang yang dengki, tapi tak apa, karena manusia akan terus berlari dan berusaha untuk loncat sekeras kerasnya menuju cabang puncak paling tinggi.

Aku tak akan dan tak boleh menyesal atas apa yang telah ku lakukan, dan tanggung jawab yang telah disematkan harus diamanatkan kembali kepada yang berhak.

Keegoisan menutup mataku dengan tebal tentang arti penting suatu harapan dan pertolongan. Selama masih ada orang, tak ada alasan untuk tetap melingkar dada kepada orang lain. 

Never knowing what comes of life ..
Baca doang ga kasih komen ? Ga gaul cuy !